Monday, March 26, 2007

The Sparks Would Never End...


Dahulu kala nenek moyang manusia membuat percikan api melalui benturan -setidaknya- dua benda keras. Dan api itu dimuai dari bentuk percikan-percikan: Sparks!
-----------------------
´Sparks´ juga sering digunakan sebagai simbol yang menggambarkan terciptanya sebuah atau beberapa ´ide´ bahkan juga terbentuknya ´pemahaman baru´.
Meskipun saat ini manusia membuat api tidak lagi dengan cara membenturkan benda-benda keras tersebut. Namun analogi ´benturan batu´ tetap kami anggap relevan jika diproyeksikan pada dimensi dialogis, diskusi dan debat, tentunya secara egaliter dan rasional.

Demikianlah analogi ´benturan batu´ tersebut sering kami gunakan dalam berdebat dengan bentuk ´game of words´, antara lain kata-kata illustrative, kata-kata karikatural, yang menghentak-hentak pemikiran pembaca, menularkan ´virus of mind´, dan tak jarang pula bermuara pada ´game of mind´.
Quote: ˝Alhasil, ini media milis bukan sebagai ajang arogansi seperti kata om> superman, tapi lebih kepada ke mind's game, uji resistensi virus versi> PatanYali... ˝ (Senin, 2 April 2007/Milis Psi-Trans/Priatna Ahmad.)

Semuanya kami lakukan demi menciptakan percikan-percikan ide yang customized, berdasarkan grounding masing-masing.

Monday, March 19, 2007

Tentang MetaLogika


Terminologi
Term ´MetaLogika´ diciptakan oleh Penulis dan pertama kali dipublished dalam sebuah blog pada bulan Desember 2003. Dan telah terimplementasikan dalam aktifitas-kreatifitas sejak 1998 - 2004 di Makassar, Indonesia.
Salah satu aplikasinya adalah dalam bentuk selebaran bertajuk ´ReStart Indonesia´, dibagikan kepada empat media (Fajar, RRI, Berita Kota, Tribun Timur) pada April 2003, hampir empat tahun lalu.
Pada lembaran tersebut -salah satunya- adalah mengingatkan masyarakat kota Makassar untuk aware terhadap pengembangan pola hidup yang selaras dengan alam-lingkungan sebelum bencana alam dan sosial susul-menyusul seperti yang saat ini terjadi.

´MetaLogika´ sendiri adalah sebuah pola atau ´mekanisme dalam berfikir´ yang berupaya dan cendrung melepaskan pengkotak-kotakan, stigma, ataupun sekat-sekat yang selama ini mempolarisasi cara pandang, cara berfikir manusia baik dalam konteks sosial, spiritual, kultural, politik, dll.

Pada awalnya, ´MetaLogika´ adalah sebuah kumpulan tulisan dan sketsa dalam sebuah buku yang oleh Penulis sebut sebagai ´Buku Biru´ sejak saat masih menduduki bangku SMA, di Makassar. ´Buku Biru´ tersebut adalah sebuah bentuk pencarian Penulis atas pertanyaan ´What is the Highest Intelligence?´´, atau ´Apakah Kecerdasan Tertinggi Itu?´.

Result sementara yang tercapai didalam penggunaan ´MetaLogika´, yakni terjadi pada tahun 2001. Dimana saat itu ´mekanisme berfikir´ ini sebagai satu-satunya di Indonesia yang menghasilkan: ˝Earth for All: The Five Principals of the Unity of Life˝ yang tertanda tangani oleh ratusan individu dan organisasi lingkungan hidup, spiritual, kebudayaan, kepemudaan dari berbagai penjuru dunia.

Topik Bahasan Dalam MetaLogika
Socio-Ekonomi-Kultural-Global
Pada tataran socio-ekonomi-kultural, pola fikir ´MetaLogika´ juga diterapkan melalui kumpulan-kumpulan tulisan ´Kopitalisme´ dengan objektivitas utama adalah melakukan falsifikasi terhadap cara berfikir yang terdikotomi oleh term ´sosialisme´ dan ´kapitalisme´.

Langkah ini kami nilai cukup efektif, mengingat sebelum-sebelum ini topik-topik ´Globalisasi´, baik dimedia cetak maupun media elektronik, hanyalah merupakan materi pembahasan eksklusif para ekonom saja.

Proses falsifikasi tersebut dilakukan dalam mailing list ´Apakabar´ yang hingga tahun 2005, topik-topik diskusi masih berputar dalam kerangkeng ´isme-isme´ tersebut. Hal ini akan dibahas tersendiri dalam tulisan berjudul ´Kemandulan Filsafat Indonesia´.

Asumsi kami, ´kemandulan´ tersebut sebagai salah satu penyebab mengapa ´PatanYali Factors´ tidak atau belum bisa terjawab.

Dilain pihak, sejak 17 Juli 2003, Penulis meng-envision sebuah pola tatanan sosial-ekonomi yang tidak terdikotomi oleh ´sosialisme´ dan ´kapitalisme´, sebagai berikut:

Resources on 'Strengthening Communities'
17 Juli 2003.
Glassnet (Global Social Strengthening Network and Global Spiritual Solidarity Network) advocates comprehensive sustainable development, an approach which addresses the ecological, economic, cultural, social, human, and spiritual aspects of development. As a network it also seeks to advance social strengthening and spiritual solidarity, referring to either the resistance of civil society to totalitarian tendencies in the state and market or, where appropriate, the critical engagement of CIVIL SOCIETY with BUSINESSES and GOVERNMENT to solve social problems in an atmosphere of principled cooperation and mutual respect. (http://www.hcibib.org/communities/)

Mind & Creativity
Selain berbagai bentuk falsifikasi dalam tataran socio-ekonomi-kultural, salah satu bahasan dalam ´MetaLogika´ menyangkut tentang ´mind´ (mekanisme berfikir) maka ´MetaLogika´ juga -sedikit banyaknya- akan bersinggungan dengan aspek ´Psikologis´.

Pemetaan Prihal ´Kebenaran´.
MetaLogika juga adalah sebuah mekanisme berfikir dalam mengenali ´grounding´ antara ´Kebenaran Saintifik´ dan ´Kebenaran Religius´. Dapat dimaklumi bahwa sejak abad ke 19, dikotomi berfikir manusia di bumi ini terbagi dalam dua dikotomi umum, yakni ´Kebenaran Saintifik´ (Scientific Truth) dan ´Kebenaran Relijius´ (Religious Truth).

Dalam MetaLogika, ditemu-kenali adanya yang disebut ´Creative Truth´, term tersebut diperkenalkan secara online melalui mailing-mailing list di Indonesia dengan kalimat ˝We Are The Creative Truth˝, juga melalui essai-essai yang materinya seringan mungkin, sehingga pembaca dapat menangkap pesan tanpa kening yang berkerut.Pemaparan paradigma mengenai ˝The Creative Truth˝ juga akan disalurkan dalam beberapa buah novel, diantaranya berjudul ˝The Garden of Jezera˝.

Bersambung.

Saturday, March 17, 2007

´Ego´, ´Spiritualisme´ dan Kebingungan-Kebingungan Dalam Penggunaan Terminologi


˝Siapakah Aku?˝
Menjawab pertanyaan di atas oleh seseorang, cukup melihat pada kartu atau lembaran ´ID´ baik berupa passport, sim, atau KTP, maka jawaban dapat diperoleh, nama, kota/daerah asal, juga dari mana negara yang bersangkutan.

Jika pertanyaan di atas diajukan kepada ´PatanYali´ maka ada dua buah jawaban, silakan memilih, sebagai berikut:
1. We are all virus, germs and bacteria that never fully escape from holes.
2. We are all IDEAS that are continously traveling from one point to another points, from one level to another levels, from one place to another places (mirip dengan ´virus´).

Pertanyaan tersebut akan dijawab oleh ´agamawan´ (atau yang berfikir dalam kotak ´religious truth´) bahwa ´Aku´ adalah ´hamba´, seperti halnya ´orang-orang di meja nomor satu´ yang melihat ´air sebagai cairan bening´, pada tulisan ´What is PatanYali?´.

Jika pertanyaan di atas disodorkan kepada ´Pengajar Ilmu Filsafat´ maka dia akan menjawab dengan berupa salinan teori-teori mulai dari Parmenides, Herakleitos, Socrates, Camus, Nietzsche, dll. Tapi -sejauh ini- tak satupun yang saya amati, mempunyai atau membuat ´teori´ tersendiri.

Bagaimana jika pertanyaan di atas (Siapakah Aku?) ditanyakan kepada seorang Psikolog? Maka pegangannya tak jauh dari ´teori´ milik ´Nabi´ mereka antara lain Hartmann, Lacan, Freud atau sesuai ´kotak-kotak´ lainnya dari apa yang diterima oleh yang bersangkutan dalam menyerap ilmu Psikologi, dimana jawaban tersebut mengacu kepada kata ´ego´.

Tetapi betulkah ´realitas´ kita sebagai ´manusia´ter/dikenali dan ter/difahami secara terkotak-kotak menurut pemahaman berbagai disiplin ilmu dalam dunia pendidikan maupun dalam berbagai ajaran seperti di atas?

Lalu, apakah ´ego´ itu? Betulkah ´ego´ berfungsi sebagai ´kontrol´ atas ´ID´ dan ´Super ego´? Seperti yang dikatakan oleh Freud? Ataukah pembahagian tersebut hanya berfungsi sebagai ´istilah´ saja dalam mempermudah untuk memahami kondisi psikologis setiap orang?

Akan tetapi, mengapa pula ada sebagian orang yang berupaya -sesuai kefahamannya- ingin menekan atau bahkan menghilangkan ´ego´ itu sendiri baik melalui pelatihan ataupun melalui penulisan dalam bentuk buku?
Quote:
Bahwa kita harus meninggalkan ego. Meninggalkan ego akan menemukan kehidupan kekal, surga itu sekarang, kalau kita menunggu nanti saat menunggu ajal, bisa kemungkinan besar kita tidak akan sampai kesana. End of quote.

Paradigma Yang Terkotak?
´MetaLogika´ adalah sebuah mekanisme berfikir guna mengenali grounding dalam melihat segala sesuatu tanpa sekat dan kotak-kotak kefahaman sesuai yang diajarkan dalam ilmu-ilmu pendidikan seperti dalam ilustrasi di atas. Juga menghindari pengkotakan, baik dari kaca mata ´sekularistik´ maupun dari kaca mata ´spiritualistik´ tanpa terjebak dalam paradigma ´mistis´.
Untuk itu, terlebih dahulu -melalui tulisan ini- saya ingin mengemukakan beberapa pandangan dari berbagai pihak, mulai dari pandangan seorang Psikolog, maupun berasal dari pandangan seorang -katakanlah- ´pengamat kejiwaan´ dalam sebuah diskusi yang berlangsung di milis Psi-Trans. Dalam thread: Untuk Revolusi Diam. Yang mengalir kepada pembahasan tentang ´ego´.

Saya mulai dengan kutipan sebuah komentar saya, yang dimuat oleh sebuah blog sbb:

"Kita tidak akan pernah mengenal diri kita sendiri?... Tidak mau mengenal diri sendiri atau .. Ehm, justru karena takut untuk mengenal diri sendiri? ... Hehehe... Disini saya belum meminta pembahasan Anda, tentang bagaimana bisa Anda membuat dikotomi antara "diri sendiri" dan "orang lain" tanpa melibatkan dan adanya keterlibatan dari "ego" itu sendiri?"
---------------------------------
Lanjutan:
Senin, 26 Maret 2007.
Sahabat...

Melanjutkan tulisan sebelumnya (yang masih bersifat pengantar) saya ingin mengulang kembali kutipan sebagai berikut:

Quote:
Bahwa kita harus meninggalkan ego. Meninggalkan ego akan menemukan kehidupan kekal, surga itu sekarang, kalau kita menunggu nanti saat menunggu ajal, bisa kemungkinan besar kita tidak akan sampai kesana. End of quote. (Mas Goen, Penulis buku Manajemen Berbasis Nurani.)

PF:
Telah saya ´konfrontir´ kesana kemari, bahwa menghilangkan ego adalah suatu hal yang sifatnya illusif semata, atau bahkan -lebih ekstrim- adalah tak lebih merupakan bentuk ´pelarian´ dari kondisi sekitar yang carut marut, maupun kondisi rutin sehari-hari.

Jika sifatnya ´rekreatif´ maka hal tersebut –penghilangan(?) ego- adalah sah sah saja, namun adalah suatu ´kemunafikan´ jika seseorang mampu mengklaim bahwa ´Meninggalkan ego akan menemukan kehidupan kekal´. Halmana statement, tersebut bisa kita amati telah terjerembab kedalam dimensi ´dogmatisme´.

Sementara menunggu pemilik tanggapan quote1 diatas, yang saya asumsikan bahwa secara esensial maksudnya adalah mengurangi keserakahan diri, egoisme dan egosentris. Sehingga beliau menggunakan term ´ego´ berdasarkan azas kasualistik (kebiasaan umum).
-----------------------------------------------------
Sementara itu, berikut kutipan dialog antara saya dan seorang psikolog yang memuat statement saya sebelumnya:

PF:
Saya sendiri mempunyai ˝peta kesadaran˝ melalui mekanisme dan cara berfikir saya sendiri (MetaLogika) sehingga saya tidak menempatkan ˝ego˝ sebagai sesuatu yang ˝duduk manis diatas singgasana hirarki kesadaran manusia˝. Tetapi juga sekaligus adalah ˝omong kosong˝ belaka jika ˝ego˝ dianggap sesuatu yang bisa dihilangkan, dengan latihan apapun itu.

Mbak Swas:
Jawabannya tergambar di atas kan? Anda adalah "antitesis" saya dan Mas Goen.. Antitesis yang memang diperlukan untuk mengembangkan sesuatu, men-challenge, sehingga mencapai taraf pemahaman lebih tinggi. Bukan sekedar bangga menjadi berbeda supaya bisa bilang kemana2 bahwa dirinya adalah antitesis, dan pokoknya berbeda dari tesis :)

You become special because you oppose me in the nice way ;)
------------------------------------------------------
PF:
Jadi saat ini, Sang Psikolog menganggap bahwa mekanisme berfikir MetaLogika, adalah ´antitesis´ dari kefahamannya tentang ´Ego´ (berdasarkan kefahaman Psikologi) dan ´Ego´ (Yang harus dihilangkan, menurut kefahaman Spiritualisme).

Sederhanyanya adalah ´MetaLogika´ dipandang sebagai ´antitesis´ dalam memahami ´ego´ berdasarkan kaca mata psikologis maupun spiritualisme.

PF:
Kembali dulu sejenak mengenai ´MetaLogika´.
Sesungguhnya tidak ada yang ´baru´ dalam mekanisme berfikir yang sedang saya tawarkan ini, melainkan sebagai sebuah ´paradigma´ dalam melihat segala sesuatu ´tanpa sekat´ dan kemudian mengolahnya sebagai sebuah ´permainan yang menyenangkan´ dalam ´olah fikir dan olah kesadaran´ dalam keadaan tertentu melakukan ´psiko-navigasi´, yakni hanya melalui ´secangkir kopi´. Hal yang tidak atau belum dimiliki oleh pakar-pakar berbasis filsafat, agama maupun keilmuan sosial-budaya modern. Namun semua proses tersebut tetap memiliki ´sandaran sains´ terkini. (contohnya pada: Result 1 dan 2)

Kita lanjutkan, kembali dengan pertanyaan ˝Siapa Aku?˝

Pertanyaan di atas muncul di bagian awal tulisan ini, dan hanya di milis (nama sebuah milis) Saya akan mencoba membahasnya dengan dasar-dasar yang sederhana, sementara di milis lain saya bertindak sebagai observer dan anggota lainnya adalah ´objek´ saya dalam melakukan observasi tersebut.

Baiklah, ˝Siapa aku?˝, di milis ini (nama sebuah milis) saya menggunakan logos ˝PatanYali Factors˝. Apa itu PF?...

Coba saya kutipkan salah satu komentar di milis lain, sebagai berikut:

Quote A:
Yang dibutuhkan bukan cuma perwujudan Patanyali Factor, karena menurut saya ini sudah mustahil. Anda hengkang dari Indonesia semoga bukan karena patah arang ya liat kondisi yang serba hancur di negeri ini?

Udah terlanjur parah. Kita perlu lebih dari itu: kita butuh avatara Patanyali-nya sendiri untuk membersihkan semua piring kotor. Saya balik kira-kira 3 tahun lagi. Mau cuci-cuci piring bareng-bareng pada saat itu? Di FPK tampaknya cukup banyak yang siap berjibaku demi membawa perubahan.
End of quote. (Manneke Budiman/FPK)

Dari kutipan di atas, ˝PatanYali Factors˝ dapat kita amati TIDAK berwujud individu (dalam hal ini, manusia), akan tetapi tetap berada dalam dimensi ˝Aku˝, (Hingga disini, saya akan mengesampingkan penggunaan term ˝Ego˝ yang sudah multi tafsir itu). Jadi ˝PatanYali Factors˝ adalah ˝Aku˝ yang dalam hal ini sebagai makhluk/benda yang ber-˝Indonesia˝.

Namun ˝PatanYali˝ (tanpa pelekatan kata Factors) juga adalah ˝mainan˝ saya -yang secara individu- sering saya fungsikan sebagai ´psiko-navigator´.

Demikianlah bahwa, dalam melihat ´realitas´, ˝Aku˝ (diri) tak pelak lagi, memerlukan apa yang sering saya sebut sebagai ´grounding´. Dan jika ´grounding´ ini diabaikan maka pembicaraan dan pembahasan menyangkut prihal dimensi ´non-fisis´ manusia akan menghasilkan statement-statement yang rancu dengan premis-premis yang nabrak sana, nabrak sini...

Bersambung....